Date : 04-05 May 2013
Place : Gunung Pulosari, Pandeglang, Banten – Indonesia
Member : Dede, Otong, Ican, Said, Yeri, Iyuk dan Mas Pengemudi
Planning? Hmm.. Sepertinya tidak ada planning khusus untuk pergi ke Pulosari. Terlebih pembicaraan soal traveling. Topik mau pergi ke gunung itu merupakan hal istimewa. Saya nggak tau kapan tepatnya teman-teman saya melempar wacana ini tapi saya baru tau dan diajak seminggu sebelum berangkat. Waktu itu kami sedang menjenguk ayahnya Muda yang dirawat di RSUD Cilegon. Well, excited of course! Selama berbulan-bulan belum ada kegiatan yang tampaknya refreshing bagi saya (rasanya pengen banget diculik buat jalan-jalan terus balik lagi ke ordinary life). I asked my parents and thank God they permitted me without so much question than expected, hehe..
I texted Ican that I’m in. Dia sempet khawatir karena selama ini saya belum punya track record ke gunung. I convinced him, told him that my parents already permitted me, and finally he let me join the force, haha..
Actually, agriculture department in my college had several outdoor courses, dan tentu saja pola pembinaan di Klinik Tanaman HPT juga punya macam kegiatan serupa, jadi ya pengetahuan saya tentang naik gunung nggak dikit-dikit amat kok 😀
Inget Summer Rescue-nya Osamu yang klinik kecil di atas gunung. Waktu itu Osamu meremehkan dan nggak prepare mau naik gunung, alhasil dia kelelahan dan kehabisan persediaan air di tengah jalan. So, I did some basic training to prepare my self and told my friends to do the same.
4 May 2013
Pagi-pagi udah bangun. Packing ulang dan (akhirnya) mengikuti saran sang bunda untuk bawa jaket agak tebal (tadinya gak mau bawa). Agak khawatir sama teman-teman yang lain karena mereka belum ngasi kabar berangkat jam berapa. Tapi Ican akhirnya sms juga, dan ngasi tau kalau udah beres dia mau jemput dan berangkat dari kosan-bersama.
Kita naik angkot ayahnya Ican, Qoe-Qoet, dilengkapi dengan pengemudinya-yang-saya-lupa-siapa-namanya (selanjutnya disebut mas pengemudi) dari Cilegon sampe ke kaki gunung Pulosari. Nggak lupa foto dulu di depan kosan-bersama.
Please jangan ditanya berapa lama perjalanan dari Cilegon ke Pandeglang, karena… *inhale… *exhale… ada suatu dan lain hal yang hanya jadi cerita kami saja, haha
Gunung Pulosari 1.346 mdpl
(photosnap di jalan menuju check point pertama)
14.30 WIB
Cek ulang keadaan tas dan bawaan, serta masang rain cover karena sepertinya akan turun hujan. Check point pertama dari warung Emak yang ada pas di ujung gang masuk menuju gunung Pulosari, desa Cilentung. Mas pengemudi yang menurut rencana hanya mengantar kami, karena suatu dan lain hal jadi ikut naik. Qoe-Qoet diparkir di seberang warung Emak. Nggak lupa kunci ganda (??)
Warung Emak (kalau menurut foto) adanya di sebelah kanan jalan. Jika membalikkan badan dan cuaca cerah maka Gunung Karang dapat terlihat dari check point ini.
Beberapa saat dari check point pertama, kami melewati lahan persawahan penduduk. Cuaca menjadi sangat mendung. Keadaan jalan masih biasa.
Belum ada 15 menit dari check point pertama, sampailah kami di check point kedua. Di sini kami membayar uang masuk sebesar Rp 5.000,-/orang, serta meminta keterangan tentang hiking track secukupnya. Saya pernah membaca beberapa tulisan dari orang-orang yang pernah mendaki ke Pulosari, menerangkan bahwa harga karcis masuk ini dapat ditawar dan bahkan jika tau jalan lain menuju hiking track yang tepat maka kita dapat menghindari dipungutnya biaya. Namun, pemikiran saya sepertinya berbeda dengan mereka. Lima ribu itu rezekinya bapak-bapak yang jaga pos itu, rezekinya mereka yang rela ditanya tentang amankah hiking track-nya. Jadi menurut saya lima ribu itu pantas untuk mereka, tanpa ditawar-tawar *ekheeem* *clearing throat* *mendadak wise*
14.50 WIB
Yak, perjalanan dimulai. Hiking track di gunung Pulosari ini sudah ada main hiking track-nya, jadi kita tidak usah membuka jalan sendiri, tinggal mengikuti track yang sudah ada. Hiking track awal sejauh beberapa meter dipasang paving block persegi panjang yang tidak rata. Hmm… mungkin alasannya karena sudah lama dipasang dan diinjak-injak pendaki, serta densitas tanahnya berbeda di beberapa bagian sehingga paving blocknya kini tidak rata. Setelah paving block, kami menemukan jalan berbatu yang menanjak, bahkan terkadang batunya sangat besar.
Tips : sebaiknya memakai alas kaki dengan tapak yang tidak licin karena banyak paving block dan batu yang belumut sehingga hiking track menjadi licin, apalagi jika hujan turun. Bisa memang pakai sendal gunung biasa, tapi tidak disarankan. Safety first!! 😀
Vegetasi tumbuhan yang dibudidayakan dominan sejauh pengetahuan saya mungkin kopi, lengkap dengan leaf cover crops alami yang tidak sengaja tumbuh di tempat yang tepat (subhanallah!). Ada juga sebagian lahan yang dipakai untuk menanam singkong. Kemudian, Yeri iseng bertanya “Itu kopi Robusta atau Arabika, Nur?” I expecting this question and answered it base on my agricultural science, hahaha… Berdasarkan cirinya, kopi yang ada di lereng-lereng gunung Pulosari itu Robusta karena daunnya lebar-lebar dan buahnya tampak lebih oval dan kecil-kecil, berbeda dengan Arabika yang daunnya memanjang dan buah kopinya lebih besar, selain itu kopi jenis Robusta cocok di daerah menengah dengan curah hujan tinggi, sedangkan Arabika cocok hidup di dataran tinggi dengan curah hujan sedang. Nah kalau curah hujan tinggi, penyakit karat kopi yang disebabkan oleh Hemileia vastatrix pasti muncul kalau yang ditanam adalah jenis Arabika, tapi sejauh penglihatan saya tidak ada karat jadi saya menyimpulkan bahwa itu adalah Robusta. My explanation to Yeri was not this far, I just told him physical differences between Arabika and Robusta.
Saya sangat mengerti bahwa satu jam pertama mungkin saya akan merasa sesak napas karena penyesuaian badan terhadap tas bawaan saya dan hal itu terjadi sodara-sodara. Cobaan bangetlah. Jalannya terus menanjak dan jarang ada track yang datar, sehingga rasanya saya perlu kaki cadangan untuk terus naik. Tapi tapi tapi tapi tapi, saya tidak menyerah dan berkata dalam hati “Saya bisa. Saya pasti bisa!!”
Selangkah demi selangkah, walaupun lambat-lambat dan berhenti beberapa kali untuk istirahat, akhirnya sampai juga di check point ketiga, Curug Putri. Kami berhenti di sini. Mengisi kembali persediaan air yang telah kami minum. Lamanya waktu yang kami tempuh dari check point kedua sampai Curug Putri 2,5 jam. Heu euh agak lama dari yang seharusnya, maklumlah biasanya nyusurin jalan yang datar tok, haha..
Dari keterangan bapak-bapak di check point sebelumnya, terjadi longsor di beberapa tempat karena hujan setiap hari. Di Curug Putri pun kami menemukan bekas-bekas pohon yang tumbang karena longsor terbawa air dan dasar alirannya juga agak keruh.
Sesaat setelah kami selesai mengisi pundi air kami, hujan pun turun, lengkap dengan kilatan petir tanpa gemuruh. Kami memutuskan untuk berteduh di gubuk kecil dekat Curug Putri sampai hujan agak mereda sedikit, sambil ngemil, sambil ngobrol, sambil merokok (yang ini saya nggak ikutan). Tiba-tiba sesosok pria muncul dari kejauhan. Dia sendirian, whoaa.. Ceritanya dia lagi mau nyusul rombongannya yang udah duluan naik dan menunggunya di Kawah, check point berikutnya setelah Curug Putri. Kami sepakat untuk naik ke Kawah bareng setelahnya, dan tentu saja kami berbagi cemilan dan teh hangat dengannya juga.
Tips : sebaiknya memakai pakaian dengan sirkulasi udara baik dan tidak terlalu tebal karena saat pendakian pasti kita akan sangat berkeringat. Disarankan memakai kaos biasa saja. Tidak disarankan memakai celana jeans, lebih baik pakai celana training deh, beneran ini mah, hehe..
17.30 WIB
Hujan agak mereda. Kami melanjutkan perjalanan. Hiking track setelah Curug Putri sangat menantang sodara-sodara. Analisis saya adalah mungkin karena kami kehilangan momentum karena meneduh agak lama sehingga tubuh kembali harus menyesuaikan dengan barang bawaan. Lebih berasa lagi ketika batu-batu yang terbentang di depan lebih besar dan lebih tinggi untuk menapakinya satu per satu. Yah, memang berat melawan gaya gravitasi seperti itu. I can’t give up. I won’t give up. Yang ada di kepala saya adalah “Dikit lagi Nyu, dikit lagi nyampe”
Agak speechless sama mas yang tadi bareng dari Curug Putri yang ngakunya anak pecinta alam. Dia kayaknya seringan bulu gitu pas naik, eh tapi buta jarak ding dia, haha.. Seperti yang sudah saya bilang knowledge saya tentang naik gunung gak dangkal banget lho. Masak dia bilang ada 10 kilo lagi ke Kawah. Ngoook.. Dan beberapa saat setelah dia ngomong nemu marka jarak ke Kawah yang tulisannya 2 km. Pengen ngakak guling-guling tapi udah sibuk sama napas sendiri, hahaha..
Then the sun has set
Blitznya gak nyampe bawah
Leadernya, Said ^^
Kita akhirnya mengeluarkan senter sebagai bantuan penerangan saat pendakian malam. Saya agak menyesal tidak bawa headlamp, entah itu ditinggal di Jatinangor atau di Bandung atau di kardus-kardus di rumah.
Sekitar jam 21.30 WIB kami bisa mencium bau belerang. Ini pertanda baik pemirsa. Berarti sudah dekat dengan check point keempat, Kawah, yihaaa… Saat itu nggak peduli baju udah basah karena peluh, nggak peduli betis udah pengen copot, rasanya ada kekuatan tambahan. Kekuatan bulan? Oh tentu saja bukan, karena udah ngecek ke langit, sedang mendung.
Tiba di check point keempat kami langsung nyari spot yang pas buat diriin tenda. Yah, pokoknya sekitar jam 22.10 WIB saya udah bisa duduk santai ngelurusin kaki, udah ganti baju bersih, udah sholat, sambil nyemil, sambil menghidu susu cokelat dari Yeri yang tumben sangat baik hati sekali ^^v, sambil mencari sejumput sinyal 3G, and wondering what kind of surprise which this place have at morning later. Kan nyampenya gelap, jadi nggak bisa liat apa-apa.
Dede, me and Otong
Ican having a great time with, hmm.. cold (?)
Aaaa.. That strips socks really.. *speechless* but it can’t compare with Said’s socks (but I don’t have the photo, unfortunately)
……. (to be continue)
#35